Malang, 20 September 2013
Pihak yang dituju (MK RI)
|
|
Kepada
Yth.
KETUA MAHKAMAH
KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka
Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110
Perihal permohonan yang diajukan (pengujian UU)
|
|
Hal: Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5355) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan
hormat,
Kami yang
bertanda tangan di bawah ini:
1. Dr.Alexandre Michael K, S.H., M.Hum;
2. Hendrawan
Sumanto, SH, MS;
3. Dr Adrian
Subandrio, SH, MH;
4. Herjuna Pramudya, SH.
Alamat Kuasa Hukum
Pemohon
|
|
para konsultan hukum dari Alex and Associate Law Firm, memilih domisili
hukum di Jalan MT Haryono Nomor 345 Malang, Jawa Timur, bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 14 Agustus 2013 sebagaimana terlampir yang ditandatangani oleh:
1.
Koperasi
Karya Bangsa yang didirikan berdasarkan Akta Nomor 67/2001 (Bukti
P-4) Berkedudukan di Jalan Kertoamsli dalam hal
ini diwakili oleh Martin Maharto dalam kedudukannya sebagai Ketua Koperasi Karya Bangsa Jawa Timur
berdasarkan Keputusan Rapat tanggal 5 April 2013 (Bukti P-4), oleh
karenanya sah bertindak untuk dan atas nama Koperasi Karya Banga Jawa Timur, untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon I”;
2.
Koperasi
Sejahtera Ummat yang didirikan berdasarkan Akta Nomor 78/1998 (Bukti
P-4) Berkedudukan di Jalan Kertoloyo dalam hal
ini diwakili oleh Minari Pratiwi dalam
kedudukannya sebagai Sekretaris
Koperasi Sejahtera Ummat berdasarkan Keputusan
Rapat tanggal 7 Mei 2013
(Bukti P-5), oleh
karenanya sah bertindak untuk dan atas nama Koperasi
Sejahtera Ummat, untuk selanjutnya disebut
sebagai “Pemohon II”;
3.
Nama & Alamat
Pemohon III
|
|
Waluyo Warga
Negara Indonesia, Pegawai
Negeri Sipi;, Beralamat di jalan Kembang Kamboja, Malang, Jawa Timur, (Bukti P-3) sebagai anggota Koperasi Pegawai Republik
Indonesia SMA Lestari
berdasarkan Kartu Tanda Anggota
nomor 67 (Bukti P-6), untuk selanjutnya
disebut sebagai “Pemohon”;
PARA PEMOHON dengan ini mengajukan
permohonan pengujian materil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) yang selanjutnya disebut “UU Perkoperasian”,
(Bukti P-2) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
selanjutnya disebut “UUD NRI 1945” (Bukti P-1).
I.
PERSYARATAN FORMIL PENGAJUAN PERMOHONAN
A.
KEWENANGAN MAHKAMAH
KONSTITUSI
1.
Perubahan
UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk
mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C
UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK” (Bukti P-5).
2. Bahwa salah satu kewenangan yang
dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar...”
3.
Selanjutnya,
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, ....”
Pasal
29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”
4.
Bahwa
mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, MK berwenang untuk melakukan pengujian
konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
5. Dalam hal ini, PARA PEMOHON memohon agar MK melakukan pengujian terhadap UU Perkoperasian
yaitu Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 55 ayat (1),
Pasal 56 ayat (1), dan pasal 78
ayat (2) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.
B.
Mengenai Kdudukan Hukum Pemohon:
Berisi tentang uraian terkait dengan kerugian konstitusional
Pemohon
|
|
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
6.
Dimilikinya
kedudukan hukum/legal standing
merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 kepada MK sebagaimana
diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Pasal
51 ayat (1) UU MK:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga
negara.”
Penjelasan Pasal 51 ayat (1)
UU MK:
“Yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI 1945.”
7.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut, terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk menguji apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian
undang-undang, yaitu (i) terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai
pemohon, dan (ii) adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari Para Pemohon
yang dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang.
8.
Bahwa
oleh karena itu, Para Pemohon menguraikan kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam
perkara a quo, sebagai berikut:
Pertama, Kualifikasi sebagai Para Pemohon. Bahwa
kualifikasi Pemohon I sampai dengan Pemohon II
adalah sebagai badan hukum privat. Sedangkan Pemohon III berkualifikasi
sebagai perorangan warga negara Indonesia.
Kedua, Kerugian
Konstitusional Para Pemohon. Mengenai parameter
kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima)
syarat sebagaimana Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 011/PUU-V/2007, yaitu sebagai berikut:
a.
adanya
hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI
1945;
b.
bahwa
hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c.
bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
adanya
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e.
adanya
kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau
kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
9.
Bahwa Para Pemohon
mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945,
sebagai berikut:
a.
Hak
untuk memajukan diri dalam melakukan
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas
kekeluargaan, hak untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 33 Ayat (1) dan Pasal 28C Ayat (2) dan UUD NRI 1945 yang
berbunyi:
- Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945
(2) Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
- Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
10.
Bahwa
Pemohon I sampai dengan Pemohon II
sebagai badan hukum privat, secara
konstitusional telah dirugikan pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk
menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena :
a.
Pasal 78 ayat (2)
UU Perkoperasian mengurangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon
II untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan
sebagaimana dijamin dalam Pasal 33
Ayat (1) UUD NRI 1945.
Koperasi pada dasarnya memang diselenggarakan untuk
mewujudkan kesejahteraan pada sebesar–besarnya masyarakat. Terwujudnya
kesejahteraan bagi anggota koperasi salah satunya adalah dengan pembagian hasil
keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi. Usaha yang dilakukan oleh
koperasi salah satunya adalah penyediaan barang atau jasa kepada masyarakat
secara luas (bukan hanya anggota koperasi). Oleh karena pada dasarnya usaha
dilakukan oleh koperasi yang diselenggarakan pula oleh anggota, maka pada
dasarnya anggota koperasi berhak untuk menerima hasil usaha tersebut. Ketentuan Pasal 78 Ayat (2)
memberikan batasan bagi koperasi untuk tidak membagikan surplus hasil usaha
yang berasal dari transaksi
dari non anggota koperasi tentu akan menyebabkan ketidakadilan. Pembagian Surplus Hasil Usaha
sesungguhnya merupakan hak anggota dan juga merupakan salah satu konsekwensi dianutnya prinsip
usaha bersama dengan asas kekeluargaan
agar koperasi tetap hidup dan berkembang.
11.
Bahwa
Pemohon III sebagai warga negara Indonesia secara
konstitusional telah dirugikan pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk
menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena :
a.
Pasal 50 ayat (1)
huruf a dan Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian meniadakan hak konstitusional
Pemohon III untuk memajukan diri
dalam memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 C
Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI
1945.
Bahwa dengan
diberikannya kewenangan kepada pengawas untuk mengusulkan calon pengurus yang
nantinya akan dipilih menjadi sebagai pengurus dalam Rapat Anggota, akan
menyebabkan koperasi diselenggarakan tidak berdasar atas asas kekeluargaan.
Padahal berdasar atas asas kekeluargaan, penyelenggaraan koperasi dilakukan
secara bersama seperti layaknya saudara. Dengan memberikan pembatasan untuk
mengusulkan calon pengurus kepada pengawas, maka yang terjadi dalam
penyelenggaraan koperasi bukan berdasar asas kekeluargaan lagi. Dalam hubungan
yang demikian adalah bahwa antar anggota koperasi tidak memiliki hak dan
kedudukan yang sama.
Hak dan kedudukan yang sama
merupakan salah satu bagian asas kekeluargaan. Unsur khas asas kekeluargaan
sebagaimana kita ketahui salah satunya adalah unsur hidup bersama para anggota
demi kebaikan bersama seluruh keluarga. Tentunya dengan pembatasan sebagaimana
yang telah disebutkan, maka unsur hidup bersama tersebut berpotensi untuk
hilang. Sehingga koperasi nantinya tidak ditentukan oleh anggota tetapi oleh
salah satu bagian dari koperasi yaitu pengawas. Dengan demikian pemohon
kehilangan haknya untuk mengajukan calon pengurus.
Hal lain yang menjadi
perhatian adalah bahwa tidak semua anggota koperasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk menjadi pengurus koperasi. Kesempatan yang sama menjadi pengurus
merupakan salah satu bagian pula bagian dari asas kekeluargaan yang mana untuk
seluruh anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pengurus koperasi.
Dengan pembatasan yang diberikan untuk mencalonkan pengurus hanya oleh
pengawas, maka akan menutup kemungkinan bagi pemohon untuk mengusulkan diri
menjadi pengurus. Tertutupnya kesempatan bagi pemohon bahkan sudah dimulai dari
tahap pencalonan sehingga upaya untuk memajukan koperasi dengan cara menjadi
pengurus tidak dapat dilakukan. Mengingat bahwa koperasi merupakan usaha
bersama berdasar asas kekeluargaan, maka jelas dengan diaturnya pencalonan
pengurus oleh pasal a quo sangat merugikan hak konstitutional pemohon.
b. Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian meniadakan hak
konstitusional Pemohon III untuk melakukan
usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 Ayat
(1) UUD NRI 1945.
Koperasi didirikan
bukan atas dasar untuk mencari kemakmuran bagi individu yang sebesar–besarnya.
Koperasi merupakan salah satu kegiatan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan
bersama. Kesejahteraan tersebut dapat tercapai dengan semakin majunya koperasi.
Artinya dalam hal ini untuk kemajuan koperasi harus dilakukan upaya sejak dini
oleh anggota untuk memajukan koperasi.
Bahwa pasal 55 Ayat
(1) memberikan kesempatan kepada orang yang bukan anggota koperasi untuk
menjadi anggota.hal ini tentu saja sangat merugikan hak pemohon untuk menjadi
pengurus. Keberadaan pengurus yang
berasal dari bukan anggota tentu mengakibatkan prinsip usaha bersama dengan
asas kekeluargaan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memajukan
kesejahteaan bersama seiring dengan perkembangan koperasi akan terabaikan.
Seorang pengurus koperasi harus merupakan orang yang sejak awal berjuang untuk
kemajuan koperasi. Keberadaan pengurus yang bukan dari anggota koperasi akan
menyebabkan seseorang dalam koperasi bekerja dengan tidak secara sukarela.
Pekerjaan yang dilakukan akan berdasarkan pada suka atau tidak suka. Pekerjaan
yang dilakukan jauh dari rasa kebersamaan karena pengurus berasal dari non
anggota koperasi. Hal – hal yang demikian setidak – tidaknya akan menghilangkan
hak pemohon untuk bekerja dengan berpedoman pada asas kekeluargaan.
Seseorang yang bukan anggota koperasi yang kemudian menjadi
pengurus tentunya akan mengikis rasa keadilan bagi anggota koperasi yang sejak
semula berjuang untuk mengembangkan koperasi. Ketidakadilan yang dimaksud
adalah atas dasar perjuangan yang dilakukan atas usaha bersama dengan asas
kekeluargaan yang secara tiba – tiba dengan masuknya anggota non koperasiakan
terasa dicuri dari orang – orang yang sesungguhnya tidak berhak atas koperasi.
Oleh karena itu pemohon beranggapan bahwa pasal a quo sangat merugikan hak
konstitutional pemohon untuk bekerja secara bersama dengan asas kekeluargaan
dan tentunya akan menimbulkan ketidakadilan yang luar biasa dalam
penyelenggaraan koperasi.
12.
Bahwa
hak Konstitusional Para Pemohon tersebut
telah sangat dirugikan dengan berlakunya UU Perkoperasian. Kerugian
tersebut bersifat spesifik dan potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar
dipastikan akan terjadi, serta mempunyai hubungan kausal dengan berlakunya Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 55 ayat (1),
Pasal 56 ayat (1), dan pasal 78
ayat (2) UU Perkoperasian. Oleh karena itu, dengan
dikabulkannya permohonan ini oleh MK sebagai the sole interpreter of the constitution dan pengawal konstitusi
maka kerugian Hak Konstitusional Para Pemohon tidak akan terjadi lagi.
13.
Bahwa
dengan demikian, Para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing)
sebagai pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UUMK
beserta Penjelasannya dan 5 (lima) syarat kerugian hak konstitusional
sebagaimana pendapat Mahkamah selama ini yang telah menjadi yurisprudensi dan
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005.
II. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UU PERKOPERASIAN
A.
PASAL
50 AYAT (1) DAN PASAL 56 AYAT (1) UU PERKOPERASIAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28
C AYAT (2) DAN PASAL 33 AYAT (1) UUD NRI
1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARA
PEMOHON UNTUK MEMAJUKAN DIRI DALAM
MEMPERJUANGKAN HAK SECARA KOLEKTIF BERDASAR ATAS AZAS KEKELUARGAAN
14.
Bahwa
Pasal 50 ayat (1) huruf a UU
Perkoperasian berbunyi:
(1) Pengawas bertugas:
a. mengusulkan calon Pengurus;
dan Pasal 56 ayat
(1) UU Perkoperasian yang berbunyi:
(1) Pengurus dipilih dan diangkat pada Rapat Anggota atas
usul Pengawas.
bertentangan dengan Pasal 28 C Ayat
(2) dan Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menjamin hak konstitusional para pemohon untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif berdasar
atas azas kekeluargaan. Hal tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana
diuraikan berikut.
15.
Bahwa
ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf a
Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian tersebut yang tidak memberi
kesempatan pada setiap anggota untuk bisa memilih dan dipilih sebagai pengurus
secara langsung dalam Rapat Anggota, namun harus melalui satu pintu pengusulan
oleh Pengawas bertentangan dengan Pasal 28 C Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945.
16.
Bahwa
Pasal 28 C Ayat (2) UUD NRI 1945 secara
jelas menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa
dan negaranya.” Dengan dibatasinya hak setiap anggota untuk memajukan
dirinya untuk dipilih dalam Rapat Anggota sebagai Pengurus koperasi maka
anggota tersebut sudah kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan haknya
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terlebih lagi dikaitkan dengan
Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang di dalamnya terdapat azas kekeluargaan yang
maknanya adalah brotherhood atau ke-ukhuwah-an (yang bukan kinship
nepotistik) sebagai pernyataan adanya tanggungjawab bersama untuk menjamin
kepentingan bersama, kemajuan bersama dan kemakmuran bersama, layaknya makna brotherhood
yang mengutamakan kerukunan dan solidaritas. Dalam negara yang pluralistik ini brotherhood
adalah suatu ke-ukhuwah-an yang wathoniyah. …”.(Meutia Farida Hatta Swasono; 2012:8). Maka
jelas bahwa ketentuan anggota bisa
menjadi Pengurus harus melalui usul Pengawas adalah bertentangan dengan azas
kekeluargaan.
17.
Bahwa
ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian tersebut juga bertentangan
dengan prinsip “usaha bersama” sebagaimana terkandung dalam Pasal 33 Ayat (1)
UUD NRI 1945. “Usaha
bersama” adalah wujud paham mutualisme,
suatu kehendak untuk senantiasa mengutamakan semangat bekerjasama dalam
kegotong-royongan, dalam ke-jemaah-an, dengan mengutamakan keserikatan,
tidak sendiri-sendiri. (Meutia Farida
Hatta Swasono; 2012:8) Dengan adanya adanya “monopoli”
pengajuan/pengusulan calon pengurus oleh Pengawas maka semangat mutualisme
(kerjasama saling menguntungkan) menjadi “buyar” berganti menjadi semangat
persaingan. Setiap anggota akan bersaing agar diusulkan sebagai pengurus oleh Pengawas. Kondisi ini akan menyebabkan
persaingan tidak sehat (unfairness
competition) karena setiap anggota terdorong melakukan “sesuatu” baik
dengan jalan yang baik atau secara melawan hukum agar diusulkan Pengawas
sebagai pengurus. Praktik money politik
kepada Pengawas akan sangat mungkin terjadi, belum lagi dampak ikutannya adalah
“praktik dagang sapi” antara Pengawas dengan orang yang berhasil diusulkan oleh
Pengawas ketika yang bersangkutan sudah menjabat menjadi Pengurus.
18.
Bahwa
apabila dilihat pengaturan pemilihan pengurus sebagaimana diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian, setiap anggota berhak dipilih di dalam Rapat
Anggota untuk menjadi Pengurus tanpa melalui usul Pengawas. Hal tersebut
dinyatakan dalam:
a.
Pasal
20 ayat (2) huruf b :
Setiap
anggota mempunyai hak:
b. memilih
dan/atau dipilih menjadi aggota Pengurus atau Pengawas;
b.
Pasal
23 huruf c:
Rapat Anggota menetapkan :
c. pemilihan,
pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas;
c. Pasal 29:
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh
anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
Atas ketentuan pemilihan
Pengurus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tersebut,
selama ini tidak ada komplain atau keluhan dari anggota koperasi. Justru
ketentuan tersebut mencerminkan demokrasi dalam tubuh koperasi. Ketentuan Pasal
Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 56 ayat (1) UU
Perkoperasian hanya akan
melibas kehidupan demokrasi dalam koperasi dengan menciptakan diktator (dictatuur) yang bernama Pengawas,
hidup dan berkembang dalam tubuh koperasi.
19.
Bahwa Bung Hatta menegaskan, di dalam membangun perekonomian
nasional berlaku “doktrin demokrasi ekonomi”, bahwa kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran adalah bagi semua
orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau
penilikan anggota-anggota masyarakat. (Meutia
Farida Hatta Swasono; 2012:7) Maka dari itu, koperasi yang menjadi soko guru
perekonomian nasional tidak boleh mengandung anasir “tirani” yang nafasnya
adalah penindasan. Paham
ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 bukanlah
“jalan tengah” melainkan adalah “jalan lain”. Bung Hatta sendiri
menyebutnya sebagai “jalan lurus”, yaitu “jalan Pancasila”. Di sinilah dalam
konsepsi ekonomi Bung Hatta, pembangunan adalah proses humanisasi, memanusiakan
manusia, bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah
derivat dan pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang
berlaku adalah “daulat-rakyat” bukan “daulat-pasar”.
Dengan demikian hubungan antar anggota dan antar organ dalam koperasi
harus benar-benar mencerminkan hubungan antar manusia yang dilandasi paham
humanis. Musyawarah mufakat dalam pemilihan organ-organ kelembagaan koperasi
adalah fondasi dasar yang tidak boleh digantikan dengan “monopoli” pengisian
jabatan/organ oleh salah satu organ yang lain dalam hal ini untuk menjadi
pengurus maka hanya dimonopoli oleh Pengawas usulan calon-calonnya.
B.
PASAL
55 AYAT (1) UU PERKOPERASIAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (1) UUD NRI 1945 YANG
MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON UNTUK MELAKUKAN USAHA BERSAMA BERDASAR ATAS AZAS KEKELUARGAAN
20.
Bahwa
Pasal 55 ayat (1) UU
Perkoperasian berbunyi:
(1)
Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non-Anggota.
bertentangan dengan Pasal 33
Ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menjamin hak konstitusional para pemohon untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Hal
tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut.
21.
Bahwa azas kekeluargaan sebagai landasan usaha bersama yang diatur dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 adalah
menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan
sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Rasa solidaritas harus
dipupuk dan diperkuat. Anggota dididik mempunyai sifat “individualitas”, insaf
akan harga dirinya. Apabila ia telah insaf akan harga dirinya sebagai anggota
koperasi, tekadnya akan kuat membela kepentingan koperasinya. Ingatannya akan
tertuju kepada kepentingan bersama, sebagai anggota–anggota koperasi.
“Individualitas” lain sekali dari individualisme “individualisme”.
“Individualisme” ialah sikap yang mengutamakan kepentingan diri sendiri
dibandingkan kepentingan orang lain dan kalau perlu mencari keuntungan bagi
diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. “Individualitas”
menjadikan seorang anggota koperasi sebagai pembela dan pejuang yang giat bagi
koperasinya. Dengan naik dan maju koperasinya, kedudukannya sendiri ikut naik
dan maju. Dalam pelajaran dan usaha koperasi di bidang manapun juga, ditanam
kemauan dan kepercayaan pada diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan
“self-help” dan autoaktivia untuk kepentingan bersama.
22.
Bahwa adanya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian yang
memungkinkan pengurus dipilih dari non-Anggota menunjukkan
bahwa pembentuk undang-undang tidak memahami jiwa koperasi yang mengedepankan
azas kekeluargaan, saling tolong menolong, gotong royong, senasib
sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya dan berdiri di kaki sendiri.
Ketentuan Pasal 55 ayat (1) tersebut menjadi “setali tiga uang” dengan
ketentuan Pasal 50 ayat (1)
huruf a Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian yang mensyaratkan bahwa calon
pengurus harus diusulkan oleh pengawas. Hal ini menunjukkan itikad yang kurang
baik dari pembentuk undang-undang guna “memuluskan” masuknya calon pengurus
dari non-Anggota serta berakibat pada tertutupnya kesempatan Anggota yang sejak
awal merintis koperasi untuk menjadi pengurus koperasi.
23.
Bahwa dengan demikian pembentuk undang-undang memimpikan koperasi
seperti klub sepak bola yang mementingkan kemenangan tidak peduli dari mana
manajernya. Pembentuk udang-undang memimpikan koperasi seperti PT yang
mementingkan keuntungan tidak peduli darimana direksinya. Pembentuk
undang-undang lupa bahwa koperasi tumbuh dan berkembang justru akibat kegagalan
perusahaan swasta untuk mengusahakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perusahaan swasta pada praktiknya hanya menghasilkan penumpukan modal dan
menyisakan kesenjangan kemakmuran antara pemilik perusahaan (owner) dengan buruhnya. Tidakkah
pembentuk undang-undang ingat pada tahun 1891 seorang patih dari Purwokerto yang
bernama R. Aria Wiriatmadja merintis koperasi untuk membebaskan rakyat dari
jeratan penumpuk modal tersebut ?
Kemudian pada tahun 1927 dibentuk Serikat
Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi
pengusah-pengusaha pribumi dan pada
tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan
penyebarluasan semangat koperasi.
24.
Bahwa sesunggunya dengan dipertahankannya azas kekeluargaan dalam
Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 dan dibentuknya :
-
Undang-Undang
Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi;
- Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian; dan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Adalah ikhtiar
yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk menghidupkan
koperasi. Seharusnya penyempurnaan regulasi dengan membentuk UU
Perkoperasian justru memperkuat
sendi-sendi dasar koperasi bukan malah mengganti sendi-sendi koperasi tersebut
dengan “onderdil” bangunan badan usaha yang lain.
Pembentuk
undang-undang perlu mencamkan cita-cita Bung Hatta dengan mengembangkan
koperasi. Bung Hatta mencitakan perekonomian rakyat yang kecil-kecil hendaklah
berbentuk koperasi dan mulai mengolah yang kecil-kecil pula. Kerjasama dan
tolong menolong yang menjadi pembawaan koperasi memberi jaminan bagi
kedudukannya dan perkembangannya. Dari bentuk koperasi yang kecil-kecil itu
yang masing-masing dilaksanakan dengan aktiva yang teratur dan solidarita
perekonomian, koperasi yang kecil-kecil itu akan meningkat berangsur-angsur ke
atas sampai sanggup melaksanakan perekonomian kecil dan menengah. Akhirnya
perekonomian rakyat yang teratur dengan organisasi koperasi dapat memasuki
medan perekonomian besar, seperti yang dilahirkan oleh perkembangan organisasi
koperasi di Swedia, Denmark, dan Jerman. (M. Hatta, Makalah Seminar Penjabaran
Pasal 33 UUD 1945, 1977:16-17) Dengan demikian yang dilakukan bukan “potong
kompas” atau mem-by pass kelembagaan
koperasi agar koperasi menjadi jaya, tetapi kebijakan yang menghidupkan
koperasi itulah yang seharusnya dilakukan.
C.
PASAL
78 AYAT (2) UU PERKOPERASIAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (1) UUD NRI 1945 YANG
MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON UNTUK MELAKUKAN USAHA BERSAMA BERDASAR ATAS AZAS KEKELUARGAAN
25.
Bahwa
Pasal 78 ayat (2) UU
Perkoperasian berbunyi:
(2) Koperasi
dilarang membagikan kepada Anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari
transaksi dengan non-Anggota.
bertentangan dengan Pasal 33
Ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menjamin hak konstitusional para pemohon untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Hal
tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut.
26.
Bahwa
pelarangan koperasi membagikan kepada Anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal
dari transaksi dengan non-Anggota sungguh tidak sesuai dengan asas kekeluargaan
yang menjadi landasan usaha bersama dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang
bangunan perusahaanya adalah koperasi. Menurut
M Hatta (1977:15), dalam asas kekeluargaan terkandung makna hubungan antar
anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara,
sekeluarga. Rasa solidarita harus dipupuk dan diperkuat sehingga setiap anggota
mempunyai individualita (insaf akan harga dirinya). Dengan demikian setiap
anggota mempunyai hak yang sama, tidak ada perbedaan/tidak terbatas atas modal
yang disimpan di Koperasi.
Dr. Fauget dalam bukunya The Cooperative Sector, 1951 menegaskan
adanya 4 prinsip yang setidak-tidaknya harus dipenuhi oleh setiap badan yang
menamakan diri koperasi. Pertama,
adanya ketentuan tentang perbandingan yang berimbang dalam hasil yang diperoleh
atas pemanfaatan jasa-jasa oleh setiap pemakai dala koperasi. Kedua, adanya ketentuan atau peraturan persamaan hak antara para anggota. Ketiga, Adanya pengaturan tentang
keanggotaan organisasi yang berdasarkan kesukarelaan. Keempat, Adanya ketentuan atau peraturan tentang partisipasi dari
pihak anggota dalam ketatalaksanaan dan usaha koperasi. Jelas ketentuan
tersebut bertentangan dengan prinsip adanya ketentuan tentang perbandingan yang
berimbang dalam hasil yang diperoleh atas pemanfaatan jasa-jasa oleh setiap
pemakai dala koperasi karena Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan
non-Anggota dilarang
dibagikan kepada Anggota. Pelarangan tersebut juga bertentangan dengan Prinsip ICA (International
Cooperative Alliance), meliputi :
- SHU dibagi tiga yaitu: cadangan, masyarakat, ke anggota sesuai dengan jasa masing-masing;
- Keanggotaan koperasi
secara terbuka tanpa adanya pembatasan yang dibuat buat;
- Kepemimpinan yang
demokratis atas dasar satu orang satu suara;
- Modal menerima bunga
yang terbatas (bila ada);
- Semua koperasi harus
melaksanakan pendidikan secara terus menerus; dan
- Gerakan koperasi harus
melaksanakan kerjasama yang erat baik
ditingkat regional, nasional maupun internasional.
27.
Bahwa
Anggota Koperasi sebagai Pemilik dan pengguna jasa seharusnya juga menerima
sisa hasil usaha baik dari anggota maupun non anggota. Dengan demikian kesejahteraan bersama akan
terwujud dan terhindarkan sikap individualisme. Pada intinya
surplus/profit sebuah koperasi sudah sewajarnya dibagikan kepada Anggota.
Ketentuan pelarangan membagikan profit
yang diperoleh dari hasil transaksi usaha dengan non-anggota ini sungguh
membuktikan bahwa pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada rakyat
kecil. Sudah kita ketahui bersama bahwa koperasi tidak mungkin melakukan
transaksi dengan nilai laba tinggi kepada Anggotanya, karena justru menekan
laba/profit demi memberikan kesejahteraan kepada Anggotanya. Munculnya ayat
tersebut memberikan gambaran tersirat bahwa pembentuk undang-undang ingin
“membabat” Koperasi sebagai pelaku ekonomi yang merupakan pesaing bisnis para
pelaku ekonomi lain (perseroan misalnya).
III.
Petitum
Yang berisi mengenai hal yang dimintakan putusan
|
|
PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian di atas dan bukti-bukti terlampir, jelas
bahwa di dalam permohonon uji materil ini terbukti bahwa UU Perkoperasian
merugikan Hak Konstitusional Para Pemohon yang dilindungi (protected), dihormati (respected),
dimajukan (promoted), dan dijamin (guaranted) UUD NRI 1945. Oleh karena itu, diharapkan
dengan dikabulkannya permohonan ini dapat mengembalikan Hak Konstitusional Para
Pemohon sesuai dengan amanat Konstitusi.
Dengan demikian, Para Pemohon mohon kepada
Majelis Hakim Konstitusi yang mulia berkenan memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para
Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), dan pasal 78 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5355)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan
3. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
4. Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
VI.
PENUTUP
Demikian Permohonan Uji Materil (Judicial Review)
ini kami sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang mulia kami sampaikan terima kasih. Dan sebagai
kelengkapan permohonan ini, Kami lampirkan bukti-bukti dan daftar sementara
saksi dan ahli.
Hormat
kami,
KUASA HUKUM PARA PEMOHON :
Dr.Alexandre Michael K, S.H., M.Hum;
Hendrawan
Sumanto, SH, MS;
Dr
Adrian Subandrio, SH, MH;
Herjuna Pramudya, SH.