kursor

Jumat, 24 November 2017

TRIAS POLITICA


   Trias Politica adalah teori yang membagi kekuasaan pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ajaran dari Teori Trias Politica ini bertentangan dengan kekuasaan raja pada zaman Feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang kekuasaan dalam negara ialah seorang raja, yang membuat sendiri UU, menjalankannya dan menghukum segala pelanggaran atas UU yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.
 
   Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun 1789, barulah paham mengenai kekuasaan yang tertumpuk di tangan raja menjadi lenyap. Pada saat itu timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu. Yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 kekuasaan yaitu :
1. Kekuasaan Legislatif (kekuasaan untuk membuat UU).
2. Kekuasaan Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan UU).
3. Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili).
 
1. Kekuasaan Legislatif (Legislatif Powers)
   Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat UU. Pembuatan UU harus diberikan pada suatu badan yang berhak khusus untuk itu. JIka penyusunan UU tidak diletakkan ada suatu badan tertentu, maka mungkinlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan UU untuk kepentingannya sendiri.
Di dalam negara demokrasi yang peraturan perundang-undangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun UU yang dinamakan legislatif. Legislatif ini sangatlah penting di dalam kenegaraan, karena UU ibarat yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.
Sebagai badan pembentuk UU maka legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan UU saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan UU itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain.

2. Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers)
  Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan UU. Kekuasaan menjalankan UU ini dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala UU ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala negara dilimpahkannya (didelegasikannya) kepada pejabat-pejabat pemerintah atau negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana UU (badan eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif.
 
3. Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Judicative Powers)
  Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili. Kekuasaan yudikatif ini berkewajiban untuk mempertahankan UU dan berhak untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan Yudikatif yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan perkara yang dijatuhi dengan hukuman terhadap setiap pelanggaran UU yang telah diadakan dan dijalankan.
Walaupun para hakim itu biasanya diangkat oleh kepala negara (eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya, bahkan yudikatif adalah badan yang berhak menghukum kepala negara, jika kepala negara melanggar hukum.
 

Sumber :

– C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Penerbit PT Rineka Cipta : Jakarta.

Jenis Acara Pemeriksaan PTUN

A. Acara Singkat
     Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan
     (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan.

     Dalam Pasal 62 UU No. 5 / 1986 disebutkan :

     1. Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu
         penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan pertimbangan bahwa gugatan yang
         diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
          a. pokok gugatan tsb nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan.
          b. Syarat gugatan tdk dipenuhi walau sudah diberitahu clan diperingatkan.
          c. Gugatan tdk didasarkan pada alasan yang layak.
          d. Apa yg digugat sebenarnya sudah dipenuhi oleh kpts TUN yg digugat.
          e. Gugatan diajukan sebelum waktunya.

     2. a. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan
             sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil keduabelah pihak untuk
             mendengarkannya.
         b. Pemanggilan keduabelah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan
             atas perintah ketua pengadilan..

     3. a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan
             kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan

     4. Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
         dengan acara singkat.

     5. Dalam hal perlawanan tsb dibcnarkanolch Pengadilanmaka pcnetapan sebagaimana
         dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukumdan pokok gugatan akan diperiksa, diputus
         dan diselesaikan menurut acara biasa.

     6. Terhadap putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat digunakan upaya hukum



B. Acara Cepat
     Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PTUN.
     Pasal 98 UU No.5/1986 :
     (1)Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan
          dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapatmemohon kepada     
          pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
     (2)Ketua pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan
          sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau
          tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
     (3)Terhadap penetapan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) tidak dapat digunakan
          upaya hukum

     Pasal 99 UU No.5 / 1986 :
     (1)Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua
          pengadilan dalam jangka watu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana
          dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui
          prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.

     (2)Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing          
          ditentukan tidak melebihi empat betas hari.

     Dari ketentuan Pasal 98 dan Pasal 99 UU PTUN bahwa :
     1. Adanya kepentingan mendesak dari penggugat misal surat perintah pembongkaran          
         bangunan atas rumah yang ditempati penggugat.
     2. Pemeriksaan dengan acara cepat hams diajukan bersama-sama dalam surat gugat.
     3. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
     4. Waktu yang yg diperlukan mulai diteimanya permohonan sampai penjatuhan putusan
          adalah 35 hari.



C. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
     Pemeriksaan dengan acara bisa diatur data Pasal 68 sampai dengan Pasal 97 UU PTUN.
     1. Tujuan dan sifat Acara Biasa.
     2. Surat gugat.
     3. Penelitian dari segi Administratif
     4. Pemeriksaan persiapan.
     5. Fungsi pemeriksaan dimuka sidang.
     6. Para pelaku dalam Sidang.

Penyelesaian Sengketa TUN

 Kompetensi PTUN

Kompetensi adalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa. Kompetensi ini dibedakan menajadi

A. Kompetensi Absolut
    Yaitu kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan objek sengketa. Berkaitan dengan kompetensi absolut maka akan terlintas adanya Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Mil iter, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Objek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara adalah dikekuarkanya Surat Keputusan Tata Usaha Negara terhadap seseorang atau badan hukum perdata.

B.Kompetensi Relatif
   Yaitu kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan wilayah hukum suatu pengadilan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disetiap kotamadya atau kabupaten akan dibentuk suatu Pengadilan Tata Usaha Negara.


Jalur Penyelesaian Sengketa TUN

Terhadap sengketa tata usaha negara dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun jalur administrasi (upaya administrasi)

A. Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang atau badan
      hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
     Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri dari dua bentuk:

     Pertama :
     Banding Administratif Dalam hal penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau
     instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
     Contoh :
     Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan Staatsblad 1912 No.29 jo UU No.5 Tahun
     1959. Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan PP No.30/1980 Peraturan
     Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Keputusan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat
     berdasar kan UU No.22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

     Kedua :
     Keberatan Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usah Negara tersebut harus dilakukan
     sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menvluarkan keputusan itu.
     Contoh :
     Pasal 25 UU No.6/1983 ttg ketentuan umum perpajakan Berbeda dengan prosedur di Pengadilan
      Tata Usaha Negara , maka penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui prosedur banding
     administratis atau prosedur keberatan dilakukan penelitian yang lengkap, baik dari segi
     penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Ada tidaknya
      upaya administeasi dapat dilihat dari ketentuan peraturan perundangan yang menjadi dasar
     dikeluarkannya keputusan tersebut Pasal 48 UU No.5/1986 :

      Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
      peraturan perundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara
      tertentu, maka sengketa TUN tsb harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
      Pengadilan barn berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN tsb jika
      seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.


B. Jalur Pengadilan. Apabila terhadap sengketa TUN tidak tersedia upaya administrasi maka
     Penggugat dapat Iangsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Alamat
     gugatan ditujukan pada tempat kedudukan Tergugat atau tempat kedudukan Badan / Pejabat Tata
     Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan TUN.

Kamis, 23 November 2017

Contoh Surat Jawaban

Yogyakarta , ………. 201…..

JAWABAN DALAM PERKARA No. …../G./20…../PTUN-YK

Antara :

………………  Selaku Penggugat.

Lawan

………………. Selaku Tergugat.


Dengan hormat,   Untuk dan atas nama Tergugat dengan ini menyampaikan jawaban sebagai berikut :

I. DALAM EKSEPSI :
    1. Penggugat tidak mempunyai kepentingan Untuk Menggugat 
    2. Gugatan Penggugat diajukan telah Lewat Waktu/Daluwarsa.  
    3. dst………

II. DALAM POKOK PERKARA :
     1. Bahwa tergugat menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil Penggugat , kecuali yang secara
         tegas diakui oleh Tergugat; 
     2. Bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat adalah tidak benar dan tidak berdasarkan
         hukum sebagaimana alasan hukum sebagai berikut :
         a. Surat Keputusan telah diterbitkan sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang diatur
             dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang No. …
             Tahun …..  
         b. substansi atau isi keputusan Obyek sengketa juga telah sesuai dengan peraturan perundang-
             undangan yang berlakau sebagai mana diatur dalam pasal…..UU No. …….  
        c. Surat Keputusan Tergugat juga telah   sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang
            baik, khususnya asas ………………. ; 
        d. dst.,

Maka berdasarkan segala alasan yang dikemukakan diatas, Tergugat mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ……………………. agar berkenan memutuskan sebagai berikut :

DALAM  EKSEPSI 
 1. Menerima Eksepsi Tergugat ;
 2. Menyatakan bahwa gugatan Penggugat ……….. ;

DALAM POKOK PERKARA
 1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan penggugat
     tidak diterima ; 
 2. Munghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini.

       Hormat Kami,                       
Kuasa Hukum Tergugat             



           (……………………..)               

SIDANG PANEL DAN SIDANG PLENO MK

Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat memberi nasihat perbaikan permohonan.

Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat bukti.

berikut contoh video Sidang Panel yang bisa saudara amati:


Contoh Permohonan Judicial Review


Rounded Rectangle: CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEWMalang, 20 September 2013





Pihak yang dituju (MK RI)
 

Kepada Yth.

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI 

REPUBLIK INDONESIA

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Jakarta Pusat 10110




Perihal permohonan yang diajukan  (pengujian UU)
 

Hal:    Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



Dengan hormat,



Kuasa Hukum Pemohon
 

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

1.  Dr.Alexandre Michael K, S.H., M.Hum;    

2.  Hendrawan Sumanto, SH, MS;

3.  Dr Adrian Subandrio, SH, MH;

4.  Herjuna Pramudya, SH.


Alamat     Kuasa Hukum Pemohon
 

para konsultan hukum dari Alex and Associate Law Firm, memilih domisili hukum di Jalan MT Haryono Nomor 345 Malang, Jawa Timur, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 14 Agustus 2013 sebagaimana terlampir yang ditandatangani oleh:



1. 

Nama & Alamat     Pemohon I
 

Koperasi Karya Bangsa yang didirikan berdasarkan Akta Nomor 67/2001 (Bukti P-4) Berkedudukan di Jalan Kertoamsli dalam hal ini diwakili oleh Martin Maharto dalam kedudukannya sebagai Ketua Koperasi Karya Bangsa Jawa Timur berdasarkan Keputusan Rapat tanggal 5 April 2013 (Bukti P-4), oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama Koperasi Karya Banga Jawa Timur, untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon I”;

2. 

Nama & Alamat     Pemohon II
 

Koperasi Sejahtera Ummat yang didirikan berdasarkan Akta Nomor 78/1998 (Bukti P-4) Berkedudukan di Jalan Kertoloyo dalam hal ini diwakili oleh Minari Pratiwi dalam kedudukannya sebagai Sekretaris Koperasi Sejahtera Ummat berdasarkan Keputusan Rapat tanggal 7 Mei 2013  (Bukti P-5), oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama Koperasi Sejahtera Ummat, untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon II”;

3. 

Nama & Alamat     Pemohon III

 

Waluyo Warga Negara Indonesia, Pegawai Negeri Sipi;, Beralamat di jalan Kembang Kamboja, Malang, Jawa Timur, (Bukti P-3) sebagai anggota Koperasi Pegawai Republik Indonesia SMA Lestari berdasarkan Kartu Tanda Anggota nomor 67  (Bukti P-6),  untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”;



PARA PEMOHON dengan ini mengajukan permohonan pengujian materil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) yang selanjutnya disebut “UU Perkoperasian”, (Bukti P-2) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut “UUD NRI 1945(Bukti P-1).

 


I.    PERSYARATAN FORMIL PENGAJUAN PERMOHONAN


Mengenai Kewenangan MK

 




A.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI



1.   Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK (Bukti P-5).



2.   Rounded Rectangle: CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEWBahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:



Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar...



3.   Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:



Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a.   menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ....



Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”



4.   Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, MK berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD NRI 1945.



5.   Dalam hal ini, PARA PEMOHON memohon agar MK melakukan pengujian terhadap UU Perkoperasian yaitu Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), dan pasal 78 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.


Persyaratan Formil

 




B.

Mengenai Kdudukan Hukum Pemohon:
Berisi tentang uraian terkait dengan kerugian konstitusional Pemohon

 

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON



6.   Dimilikinya kedudukan hukum/legal standing merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 kepada MK sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.



Pasal 51 ayat (1) UU MK:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a.  perorangan warga negara Indonesia;

b.  kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c.  badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.”



Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK:

“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI 1945.”



7.   Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian undang-undang, yaitu (i) terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon, dan (ii) adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari Para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang.



8.   Bahwa oleh karena itu, Para Pemohon menguraikan kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam perkara a quo, sebagai berikut:



Pertama, Kualifikasi sebagai Para Pemohon. Bahwa kualifikasi Pemohon I sampai dengan Pemohon II adalah sebagai badan hukum privat. Sedangkan Pemohon III berkualifikasi  sebagai perorangan warga negara Indonesia.  



Kedua,     Kerugian Konstitusional Para Pemohon. Mengenai parameter kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, yaitu sebagai berikut:

a.   adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI 1945;

b.   bahwa hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c.   bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d.   adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e.   adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.



9.   Bahwa Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945, sebagai berikut:

a.   Hak untuk memajukan diri dalam melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 33 Ayat  (1) dan Pasal 28C Ayat (2) dan UUD NRI 1945 yang berbunyi:

- Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.



- Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945

(1)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

10.   Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon II sebagai badan hukum privat, secara konstitusional telah dirugikan pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena :

a.   Pasal 78 ayat (2) UU Perkoperasian mengurangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon II  untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945.

Koperasi pada dasarnya memang diselenggarakan untuk mewujudkan kesejahteraan pada sebesar–besarnya masyarakat. Terwujudnya kesejahteraan bagi anggota koperasi salah satunya adalah dengan pembagian hasil keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi. Usaha yang dilakukan oleh koperasi salah satunya adalah penyediaan barang atau jasa kepada masyarakat secara luas (bukan hanya anggota koperasi). Oleh karena pada dasarnya usaha dilakukan oleh koperasi yang diselenggarakan pula oleh anggota, maka pada dasarnya anggota koperasi berhak untuk menerima hasil usaha tersebut. Ketentuan Pasal 78 Ayat (2) memberikan batasan bagi koperasi untuk tidak membagikan surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dari non anggota koperasi tentu akan menyebabkan ketidakadilan. Pembagian Surplus Hasil Usaha sesungguhnya merupakan hak anggota dan juga merupakan salah satu konsekwensi dianutnya prinsip usaha bersama dengan asas kekeluargaan agar koperasi tetap hidup dan berkembang.

11.   Bahwa Pemohon III sebagai warga negara Indonesia secara konstitusional telah dirugikan pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena :

a.    Pasal 50 ayat (1) huruf a dan Pasal 56 ayat (1)  UU Perkoperasian meniadakan hak konstitusional Pemohon III untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 C Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945.

Bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada pengawas untuk mengusulkan calon pengurus yang nantinya akan dipilih menjadi sebagai pengurus dalam Rapat Anggota, akan menyebabkan koperasi diselenggarakan tidak berdasar atas asas kekeluargaan. Padahal berdasar atas asas kekeluargaan, penyelenggaraan koperasi dilakukan secara bersama seperti layaknya saudara. Dengan memberikan pembatasan untuk mengusulkan calon pengurus kepada pengawas, maka yang terjadi dalam penyelenggaraan koperasi bukan berdasar asas kekeluargaan lagi. Dalam hubungan yang demikian adalah bahwa antar anggota koperasi tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama.

Rounded Rectangle: CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEWHak dan kedudukan yang sama merupakan salah satu bagian asas kekeluargaan. Unsur khas asas kekeluargaan sebagaimana kita ketahui salah satunya adalah unsur hidup bersama para anggota demi kebaikan bersama seluruh keluarga. Tentunya dengan pembatasan sebagaimana yang telah disebutkan, maka unsur hidup bersama tersebut berpotensi untuk hilang. Sehingga koperasi nantinya tidak ditentukan oleh anggota tetapi oleh salah satu bagian dari koperasi yaitu pengawas. Dengan demikian pemohon kehilangan haknya untuk mengajukan calon pengurus.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah bahwa tidak semua anggota koperasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pengurus koperasi. Kesempatan yang sama menjadi pengurus merupakan salah satu bagian pula bagian dari asas kekeluargaan yang mana untuk seluruh anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pengurus koperasi. Dengan pembatasan yang diberikan untuk mencalonkan pengurus hanya oleh pengawas, maka akan menutup kemungkinan bagi pemohon untuk mengusulkan diri menjadi pengurus. Tertutupnya kesempatan bagi pemohon bahkan sudah dimulai dari tahap pencalonan sehingga upaya untuk memajukan koperasi dengan cara menjadi pengurus tidak dapat dilakukan. Mengingat bahwa koperasi merupakan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, maka jelas dengan diaturnya pencalonan pengurus oleh pasal a quo sangat merugikan hak konstitutional pemohon.

b.    Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian meniadakan hak konstitusional Pemohon III untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945.

Koperasi didirikan bukan atas dasar untuk mencari kemakmuran bagi individu yang sebesar–besarnya. Koperasi merupakan salah satu kegiatan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan tersebut dapat tercapai dengan semakin majunya koperasi. Artinya dalam hal ini untuk kemajuan koperasi harus dilakukan upaya sejak dini oleh anggota untuk memajukan koperasi.

Bahwa pasal 55 Ayat (1) memberikan kesempatan kepada orang yang bukan anggota koperasi untuk menjadi anggota.hal ini tentu saja sangat merugikan hak pemohon untuk menjadi pengurus.  Keberadaan pengurus yang berasal dari bukan anggota tentu mengakibatkan prinsip usaha bersama dengan asas kekeluargaan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memajukan kesejahteaan bersama seiring dengan perkembangan koperasi akan terabaikan. Seorang pengurus koperasi harus merupakan orang yang sejak awal berjuang untuk kemajuan koperasi. Keberadaan pengurus yang bukan dari anggota koperasi akan menyebabkan seseorang dalam koperasi bekerja dengan tidak secara sukarela. Pekerjaan yang dilakukan akan berdasarkan pada suka atau tidak suka. Pekerjaan yang dilakukan jauh dari rasa kebersamaan karena pengurus berasal dari non anggota koperasi. Hal – hal yang demikian setidak – tidaknya akan menghilangkan hak pemohon untuk bekerja dengan berpedoman pada asas kekeluargaan.

Seseorang yang  bukan anggota koperasi yang kemudian menjadi pengurus tentunya akan mengikis rasa keadilan bagi anggota koperasi yang sejak semula berjuang untuk mengembangkan koperasi. Ketidakadilan yang dimaksud adalah atas dasar perjuangan yang dilakukan atas usaha bersama dengan asas kekeluargaan yang secara tiba – tiba dengan masuknya anggota non koperasiakan terasa dicuri dari orang – orang yang sesungguhnya tidak berhak atas koperasi. Oleh karena itu pemohon beranggapan bahwa pasal a quo sangat merugikan hak konstitutional pemohon untuk bekerja secara bersama dengan asas kekeluargaan dan tentunya akan menimbulkan ketidakadilan yang luar biasa dalam penyelenggaraan koperasi.

12.   Bahwa hak Konstitusional Para Pemohon tersebut telah sangat dirugikan dengan berlakunya UU Perkoperasian. Kerugian tersebut bersifat spesifik dan potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi, serta mempunyai hubungan kausal dengan berlakunya Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), dan pasal 78 ayat (2)  UU Perkoperasian. Oleh karena itu, dengan dikabulkannya permohonan ini oleh MK sebagai the sole interpreter of the constitution dan pengawal konstitusi maka kerugian Hak Konstitusional Para Pemohon tidak akan terjadi lagi.



13.   Bahwa dengan demikian, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UUMK beserta Penjelasannya dan 5 (lima) syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana pendapat Mahkamah selama ini yang telah menjadi yurisprudensi dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005.


II.   ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UU PERKOPERASIAN

 


A.       
PASAL 50 AYAT (1) DAN PASAL 56 AYAT (1) UU PERKOPERASIAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28 C AYAT (2) DAN PASAL 33 AYAT  (1) UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON UNTUK MEMAJUKAN DIRI DALAM MEMPERJUANGKAN HAK SECARA KOLEKTIF BERDASAR ATAS AZAS KEKELUARGAAN



14.   Bahwa Pasal 50 ayat (1) huruf a UU Perkoperasian berbunyi:

(1) Pengawas bertugas:

      a. mengusulkan calon Pengurus;



dan Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian yang berbunyi:

(1)  Pengurus dipilih dan diangkat pada Rapat Anggota atas usul Pengawas.



bertentangan dengan Pasal 28 C Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional para pemohon untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan. Hal tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut.

15.   Bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian tersebut yang tidak memberi kesempatan pada setiap anggota untuk bisa memilih dan dipilih sebagai pengurus secara langsung dalam Rapat Anggota, namun harus melalui satu pintu pengusulan oleh Pengawas bertentangan dengan Pasal 28 C Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945.

16.   Bahwa Pasal 28 C Ayat (2) UUD NRI 1945 secara jelas menentukan bahwa Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Dengan dibatasinya hak setiap anggota untuk memajukan dirinya untuk dipilih dalam Rapat Anggota sebagai Pengurus koperasi maka anggota tersebut sudah kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan haknya membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terlebih lagi dikaitkan dengan Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang di dalamnya terdapat azas kekeluargaan yang maknanya adalah brotherhood atau ke-ukhuwah-an (yang bukan kinship nepotistik) sebagai pernyataan adanya tanggungjawab bersama untuk menjamin kepentingan bersama, kemajuan bersama dan kemakmuran bersama, layaknya makna brotherhood yang mengutamakan kerukunan dan solidaritas. Dalam negara yang pluralistik ini brotherhood adalah suatu ke-ukhuwah-an yang wathoniyah. …”.(Meutia Farida Hatta Swasono; 2012:8). Maka jelas bahwa  ketentuan anggota bisa menjadi Pengurus harus melalui usul Pengawas adalah bertentangan dengan azas kekeluargaan.

17.   Bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian tersebut juga bertentangan dengan prinsip “usaha bersama” sebagaimana terkandung dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945. “Usaha bersama” adalah wujud paham mutualisme, suatu kehendak untuk senantiasa mengutamakan semangat bekerjasama dalam kegotong-royongan, dalam ke-jemaah-an, dengan meng­utamakan keserikatan, tidak sendiri-sendiri. (Meutia Farida Hatta Swasono; 2012:8) Dengan adanya adanya “monopoli” pengajuan/pengusulan calon pengurus oleh Pengawas maka semangat mutualisme (kerjasama saling menguntungkan) menjadi “buyar” berganti menjadi semangat persaingan. Setiap anggota akan bersaing agar diusulkan sebagai pengurus  oleh Pengawas. Kondisi ini akan menyebabkan persaingan tidak sehat (unfairness competition) karena setiap anggota terdorong melakukan “sesuatu” baik dengan jalan yang baik atau secara melawan hukum agar diusulkan Pengawas sebagai pengurus. Praktik money politik kepada Pengawas akan sangat mungkin terjadi, belum lagi dampak ikutannya adalah “praktik dagang sapi” antara Pengawas dengan orang yang berhasil diusulkan oleh Pengawas ketika yang bersangkutan sudah menjabat menjadi Pengurus.

18.   Bahwa apabila dilihat pengaturan pemilihan pengurus sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, setiap anggota berhak dipilih di dalam Rapat Anggota untuk menjadi Pengurus tanpa melalui usul Pengawas. Hal tersebut dinyatakan dalam:

a.    Pasal 20 ayat (2) huruf b :

Setiap anggota mempunyai hak:

b.   memilih dan/atau dipilih menjadi aggota Pengurus atau Pengawas;



b.      Pasal 23 huruf c:

Rapat Anggota menetapkan :

c.     pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas;

Rounded Rectangle: CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW 


c. Pasal 29:

(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.



Atas ketentuan pemilihan Pengurus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tersebut, selama ini tidak ada komplain atau keluhan dari anggota koperasi. Justru ketentuan tersebut mencerminkan demokrasi dalam tubuh koperasi. Ketentuan Pasal Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian hanya akan melibas kehidupan demokrasi dalam koperasi dengan menciptakan diktator (dictatuur) yang bernama Pengawas, hidup dan berkembang dalam tubuh koperasi.

19.   Bahwa Bung Hatta menegaskan, di dalam membangun perekonomian nasional berlaku “doktrin demokrasi ekonomi”, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran adalah bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. (Meutia Farida Hatta Swasono; 2012:7) Maka dari itu, koperasi yang menjadi soko guru perekonomian nasional tidak boleh mengandung anasir “tirani” yang nafasnya adalah penindasan. Paham ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 bukanlah “jalan tengah” melainkan adalah “jalan lain”. Bung Hatta sendiri menyebutnya sebagai “jalan lurus”, yaitu “jalan Pancasila”. Di sinilah dalam konsepsi ekonomi Bung Hatta, pembangunan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia, bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah derivat dan pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang berlaku adalah “daulat-rakyat” bukan “daulat-pasar”.  

Dengan demikian hubungan antar anggota dan antar organ dalam koperasi harus benar-benar mencerminkan hubungan antar manusia yang dilandasi paham humanis. Musyawarah mufakat dalam pemilihan organ-organ kelembagaan koperasi adalah fondasi dasar yang tidak boleh digantikan dengan “monopoli” pengisian jabatan/organ oleh salah satu organ yang lain dalam hal ini untuk menjadi pengurus maka hanya dimonopoli oleh Pengawas usulan calon-calonnya.





B.       
PASAL 55 AYAT (1) UU PERKOPERASIAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT  (1) UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON UNTUK MELAKUKAN USAHA BERSAMA BERDASAR ATAS AZAS KEKELUARGAAN



20.   Bahwa Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian berbunyi:

(1) Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non-Anggota.



bertentangan dengan Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional para pemohon untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Hal tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut.

21.   Bahwa azas kekeluargaan sebagai landasan usaha bersama yang diatur dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 adalah menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Rasa solidaritas harus dipupuk dan diperkuat. Anggota dididik mempunyai sifat “individualitas”, insaf akan harga dirinya. Apabila ia telah insaf akan harga dirinya sebagai anggota koperasi, tekadnya akan kuat membela kepentingan koperasinya. Ingatannya akan tertuju kepada kepentingan bersama, sebagai anggota–anggota koperasi. “Individualitas” lain sekali dari individualisme “individualisme”. “Individualisme” ialah sikap yang mengutamakan kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan orang lain dan kalau perlu mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. “Individualitas” menjadikan seorang anggota koperasi sebagai pembela dan pejuang yang giat bagi koperasinya. Dengan naik dan maju koperasinya, kedudukannya sendiri ikut naik dan maju. Dalam pelajaran dan usaha koperasi di bidang manapun juga, ditanam kemauan dan kepercayaan pada diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan “self-help” dan autoaktivia untuk kepentingan bersama.

22.   Bahwa adanya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian yang memungkinkan pengurus dipilih dari non-Anggota menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak memahami jiwa koperasi yang mengedepankan azas kekeluargaan, saling tolong menolong, gotong royong, senasib sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya dan berdiri di kaki sendiri. Ketentuan Pasal 55 ayat (1) tersebut menjadi “setali tiga uang” dengan ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian yang mensyaratkan bahwa calon pengurus harus diusulkan oleh pengawas. Hal ini menunjukkan itikad yang kurang baik dari pembentuk undang-undang guna “memuluskan” masuknya calon pengurus dari non-Anggota serta berakibat pada tertutupnya kesempatan Anggota yang sejak awal merintis koperasi untuk menjadi pengurus koperasi.

23.   Bahwa dengan demikian pembentuk undang-undang memimpikan koperasi seperti klub sepak bola yang mementingkan kemenangan tidak peduli dari mana manajernya. Pembentuk udang-undang memimpikan koperasi seperti PT yang mementingkan keuntungan tidak peduli darimana direksinya. Pembentuk undang-undang lupa bahwa koperasi tumbuh dan berkembang justru akibat kegagalan perusahaan swasta untuk mengusahakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perusahaan swasta pada praktiknya hanya menghasilkan penumpukan modal dan menyisakan kesenjangan kemakmuran antara pemilik perusahaan (owner) dengan buruhnya. Tidakkah pembentuk undang-undang ingat pada tahun 1891 seorang patih dari Purwokerto yang bernama R. Aria Wiriatmadja merintis koperasi untuk membebaskan rakyat dari jeratan penumpuk modal tersebut ?  Kemudian pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi dan  pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.

24.   Bahwa sesunggunya dengan dipertahankannya azas kekeluargaan dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 dan dibentuknya :

-       Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi;

-       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian;

-       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian; dan

-       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk menghidupkan koperasi. Seharusnya penyempurnaan regulasi dengan membentuk UU Perkoperasian  justru memperkuat sendi-sendi dasar koperasi bukan malah mengganti sendi-sendi koperasi tersebut dengan “onderdil” bangunan badan usaha yang lain.

Pembentuk undang-undang perlu mencamkan cita-cita Bung Hatta dengan mengembangkan koperasi. Bung Hatta mencitakan perekonomian rakyat yang kecil-kecil hendaklah berbentuk koperasi dan mulai mengolah yang kecil-kecil pula. Kerjasama dan tolong menolong yang menjadi pembawaan koperasi memberi jaminan bagi kedudukannya dan perkembangannya. Dari bentuk koperasi yang kecil-kecil itu yang masing-masing dilaksanakan dengan aktiva yang teratur dan solidarita perekonomian, koperasi yang kecil-kecil itu akan meningkat berangsur-angsur ke atas sampai sanggup melaksanakan perekonomian kecil dan menengah. Akhirnya perekonomian rakyat yang teratur dengan organisasi koperasi dapat memasuki medan perekonomian besar, seperti yang dilahirkan oleh perkembangan organisasi koperasi di Swedia, Denmark, dan Jerman. (M. Hatta, Makalah Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, 1977:16-17) Dengan demikian yang dilakukan bukan “potong kompas” atau mem-by pass kelembagaan koperasi agar koperasi menjadi jaya, tetapi kebijakan yang menghidupkan koperasi itulah yang seharusnya dilakukan.



C.       
PASAL 78 AYAT (2) UU PERKOPERASIAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT  (1) UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON UNTUK MELAKUKAN USAHA BERSAMA BERDASAR ATAS AZAS KEKELUARGAAN



25.   Bahwa Pasal 78 ayat (2) UU Perkoperasian berbunyi:

(2)   Koperasi dilarang membagikan kepada Anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-Anggota.



bertentangan dengan Pasal 33 Ayat  (1) UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional para pemohon untuk melakukan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Hal tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut.

26.   Bahwa pelarangan koperasi membagikan kepada Anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-Anggota sungguh tidak sesuai dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang bangunan perusahaanya adalah koperasi. Menurut M Hatta (1977:15), dalam asas kekeluargaan terkandung makna hubungan antar anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara, sekeluarga. Rasa solidarita harus dipupuk dan diperkuat sehingga setiap anggota mempunyai individualita (insaf akan harga dirinya). Dengan demikian setiap anggota mempunyai hak yang sama, tidak ada perbedaan/tidak terbatas atas modal yang disimpan di Koperasi.

Dr. Fauget dalam bukunya The Cooperative Sector, 1951 menegaskan adanya 4 prinsip yang setidak-tidaknya harus dipenuhi oleh setiap badan yang menamakan diri koperasi. Pertama, adanya ketentuan tentang perbandingan yang berimbang dalam hasil yang diperoleh atas pemanfaatan jasa-jasa oleh setiap pemakai dala koperasi. Kedua, adanya ketentuan atau peraturan persamaan hak antara para anggota. Ketiga, Adanya pengaturan tentang keanggotaan organisasi yang berdasarkan kesukarelaan. Keempat, Adanya ketentuan atau peraturan tentang partisipasi dari pihak anggota dalam ketatalaksanaan dan usaha koperasi. Jelas ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip adanya ketentuan tentang perbandingan yang berimbang dalam hasil yang diperoleh atas pemanfaatan jasa-jasa oleh setiap pemakai dala koperasi karena Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-Anggota dilarang dibagikan kepada Anggota. Pelarangan tersebut juga bertentangan dengan Prinsip ICA (International Cooperative Alliance), meliputi :

-    SHU dibagi tiga yaitu: cadangan, masyarakat, ke anggota sesuai dengan jasa masing-masing;

-    Keanggotaan koperasi secara terbuka tanpa adanya pembatasan yang dibuat buat;

-    Kepemimpinan yang demokratis atas dasar satu orang satu suara;

-    Modal menerima bunga yang terbatas (bila ada);

-    Semua koperasi harus melaksanakan pendidikan secara terus menerus; dan

-    Gerakan koperasi harus melaksanakan kerjasama yang erat  baik ditingkat regional, nasional maupun internasional.

27.   Bahwa Anggota Koperasi sebagai Pemilik dan pengguna jasa seharusnya juga menerima sisa hasil usaha baik dari anggota maupun non anggota.  Dengan demikian kesejahteraan bersama akan terwujud dan terhindarkan sikap individualisme. Pada intinya surplus/profit sebuah koperasi sudah sewajarnya dibagikan kepada Anggota. Ketentuan pelarangan  membagikan profit yang diperoleh dari hasil transaksi usaha dengan non-anggota ini sungguh membuktikan bahwa pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Sudah kita ketahui bersama bahwa koperasi tidak mungkin melakukan transaksi dengan nilai laba tinggi kepada Anggotanya, karena justru menekan laba/profit demi memberikan kesejahteraan kepada Anggotanya. Munculnya ayat tersebut memberikan gambaran tersirat bahwa pembentuk undang-undang ingin “membabat” Koperasi sebagai pelaku ekonomi yang merupakan pesaing bisnis para pelaku ekonomi lain (perseroan misalnya).



III.   

Petitum
Yang berisi mengenai hal yang dimintakan putusan
 

PETITUM

Berdasarkan seluruh uraian di atas dan bukti-bukti terlampir, jelas bahwa di dalam permohonon uji materil ini terbukti bahwa UU Perkoperasian merugikan Hak Konstitusional Para Pemohon yang dilindungi (protected), dihormati (respected), dimajukan (promoted), dan dijamin (guaranted)  UUD NRI 1945. Oleh karena itu, diharapkan dengan dikabulkannya permohonan ini dapat mengembalikan Hak Konstitusional Para Pemohon sesuai dengan amanat Konstitusi.

Dengan demikian, Para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang mulia berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 50 ayat (1) huruf a Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), dan pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan

3. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

4. Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).



Rounded Rectangle: CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEWVI. PENUTUP

Demikian Permohonan Uji Materil (Judicial Review) ini kami sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang mulia kami sampaikan terima kasih. Dan sebagai kelengkapan permohonan ini, Kami lampirkan bukti-bukti dan daftar sementara saksi dan ahli.





Hormat kami,

Rounded Rectangle: Harus ditanda tangani oleh pemohon / kuasanya
KUASA HUKUM PARA PEMOHON :







Dr.Alexandre Michael K, S.H., M.Hum;     





Hendrawan Sumanto, SH, MS;





Dr Adrian Subandrio, SH, MH;





Herjuna Pramudya, SH.




TRIAS POLITICA

   Trias Politica  adalah teori yang membagi kekuasaan pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif da...